Senin, 21 Oktober 2013

Tiga detik



Angin mendesah pelan, menyisakan aroma hujan. aku melirik jendela, malam pekat dengan uap hujan tertimbun diantara sekat. Tanda harus segera pulang.
Malam itu biasa, pekat yang biasa, hujan yang biasa, kumpulan yang biasa, teman yang biasa juga luka yang biasa-biasa saja.

Malam pukul enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh. Aku sudah bilang ini malam biasa, lalu apa? Tunggu, ada dua manusia berwajah beda, selalu ada, bersama. Mereka mendekat, membuat aku dan kawan ku saling bersitatap, mencengkeram kuat, dan jantung kami berdegup cepat. Bukan, dua manusia itu bukan penjahat.

Mereka berlalu, tanpa berucap kata atau sekadar tatapan manja. Tuhan, ini gila! Kami justru bahagia, tersipu lantas mengambil langkah seribu.

Ah kamu, sudah berapa lama kita tidak bertemu. Sedetik, menit, jam, hari, minggu, bulan atau tahun. Maaf aku lupa menghitung. Aku sebenarnya peduli, tapi aku tidak ingin peduli.

Malam pukul enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh. Aku menyukaimu. Jangan tanya mengapa, cukup kamu berbahagia saja. Di sela hening, kamu mulai mengobrol dengan kawanmu. Aku suka. Kamu tertawa, renyah sekali membuat candu lantas menjelma rindu. Aku bahagia. Melihat punggungmu yang bisu lalu suara sepatu, itu cukup bagiku.
Kamu tahu, aku bahagia berada dibelakangmu, menebak-nebak lantas terbahak tanpa sebab.

Jangan bertanya sejauh apa aku mengenalmu. Bahkan, nama pun aku tak mau tahu. Aku mempunyai nama sendiri untuk pengingat jika hatiku lupa. Mengenal mu lebih jauh, adalah pantangan bagiku. Aku tidak mau. Bukankah menyenangkan? Menyukai seseorang, tanpa tahu nama, tahu siapa kamu dan apa-apa yang melekat dalam hidupmu. Sederhana, aku hanya ingin sederhana menyukaimu.

Malam pukul enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh. Tetiba langkah mu mulai melambat, aku tepat melihat ubun kepalamu yang menuruni anak tangga. Kamu seperti menyadari sesuatu, menyadari sepasang bola mata yang liar menatap gerak-gerikmu. 

Dan tetiba waktu dengan bijak berhenti, menyisakan tiga detik. Tiga detik yang indah. Satu detik, kamu mulai mengangkat kepala. Dua detik, mata kita bertemu tapi enggan bersapa. Tiga detik mataku malu, hatiku melonjak cepat.

Tiga detik yang mahal. 

Sayang, aku mengetahui satu hal darimu. Matamu coklat. Aku hanya menyukaimu. Tapi menurut para pujangga, ini cinta. Memangnya apa cinta? Saat ada luka dan bahagia? Ah rumit sekali.
Tapi kamu tidak perlu takut, aku tidak akan menyemai luka atau menyiram cinta. Aku hanya menyukaimu. Menyukai saat kita tidak sengaja bertemu, suara sepatu, tawa renyah, punggung yang bisu, suaramu juga tiga detik yang mahal. Selebihnya aku tidak mau tahu. Biarkan saja aku yang terus menebak-nebak.

Tapi, ini Malam pukul enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh.


Bandung, 21 Oktober 2013
Malam pukul sepuluh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar