Angin
mendesah pelan, menyisakan aroma hujan. aku melirik jendela, malam pekat dengan
uap hujan tertimbun diantara sekat. Tanda harus segera pulang.
Malam
itu biasa, pekat yang biasa, hujan yang biasa, kumpulan yang biasa, teman yang
biasa juga luka yang biasa-biasa saja.
Malam
pukul enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh. Aku sudah bilang ini malam
biasa, lalu apa? Tunggu, ada dua manusia berwajah beda, selalu ada, bersama. Mereka
mendekat, membuat aku dan kawan ku saling bersitatap, mencengkeram kuat, dan
jantung kami berdegup cepat. Bukan, dua manusia itu bukan penjahat.
Mereka
berlalu, tanpa berucap kata atau sekadar tatapan manja. Tuhan, ini gila! Kami justru
bahagia, tersipu lantas mengambil langkah seribu.
Ah
kamu, sudah berapa lama kita tidak bertemu. Sedetik, menit, jam, hari, minggu,
bulan atau tahun. Maaf aku lupa menghitung. Aku sebenarnya peduli, tapi aku
tidak ingin peduli.
Malam
pukul enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh. Aku menyukaimu. Jangan tanya
mengapa, cukup kamu berbahagia saja. Di sela hening, kamu mulai mengobrol
dengan kawanmu. Aku suka. Kamu tertawa, renyah sekali membuat candu lantas
menjelma rindu. Aku bahagia. Melihat punggungmu yang bisu lalu suara sepatu,
itu cukup bagiku.
Kamu
tahu, aku bahagia berada dibelakangmu, menebak-nebak lantas terbahak tanpa
sebab.
Jangan
bertanya sejauh apa aku mengenalmu. Bahkan, nama pun aku tak mau tahu. Aku mempunyai
nama sendiri untuk pengingat jika hatiku lupa. Mengenal mu lebih jauh, adalah
pantangan bagiku. Aku tidak mau. Bukankah menyenangkan? Menyukai seseorang,
tanpa tahu nama, tahu siapa kamu dan apa-apa yang melekat dalam hidupmu. Sederhana,
aku hanya ingin sederhana menyukaimu.
Malam
pukul enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh. Tetiba langkah mu mulai
melambat, aku tepat melihat ubun kepalamu yang menuruni anak tangga. Kamu seperti
menyadari sesuatu, menyadari sepasang bola mata yang liar menatap
gerak-gerikmu.
Dan
tetiba waktu dengan bijak berhenti, menyisakan tiga detik. Tiga detik yang
indah. Satu detik, kamu mulai mengangkat kepala. Dua detik, mata kita bertemu
tapi enggan bersapa. Tiga detik mataku malu, hatiku melonjak cepat.
Tiga
detik yang mahal.
Sayang, aku mengetahui satu hal darimu. Matamu coklat. Aku hanya
menyukaimu. Tapi menurut para pujangga, ini cinta. Memangnya apa cinta? Saat ada
luka dan bahagia? Ah rumit sekali.
Tapi
kamu tidak perlu takut, aku tidak akan menyemai luka atau menyiram cinta. Aku hanya
menyukaimu. Menyukai saat kita tidak sengaja bertemu, suara sepatu, tawa
renyah, punggung yang bisu, suaramu juga tiga detik yang mahal. Selebihnya aku
tidak mau tahu. Biarkan saja aku yang terus menebak-nebak.
Tapi, ini Malam pukul
enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh.
Bandung, 21 Oktober 2013
Malam pukul sepuluh.