Senin, 30 September 2013

Melupakamu




Tidak ada yang lebih menyenangkan selain merenung didalam perjalanan. Kau belum pernah mencobanya? Cobalah, maka kau akan sadar dunia amatlah luas, tidak sesempit hatimu, hati mereka, juga hatiku. Senja ini aku duduk dalam posisi favoritku satu tahun terakhir; paling pojok, dekat jendela, membuka jendela selebar mungkin lantas membiarkan angin yang berubah-rubah warna :kadang hitam, putih bahkan tanpa warna, menerpa muka tanpa pamrih, meninggalkan bercak. Peduli? Untuk apa, wajah cantik juga tidak menjamin adanya cinta.
Di jalan pulang selalu ada kenangan
Di jalan pulang selalu dalam pembelajaran.
Aku jatuh cinta. Sungguh, aku mengatakanya. Jika ini bukan cinta, lalu apakah nama perasaan aneh ini? Yang karenanya, aku menyukai menulis liris sok romantis, membaca novel roman bahkan picisan, juga mendengar lagu gejolak perasaan yang dulu aku menyebutnya klise. Aku tidak pernah mengerti, dan aku tidak ingin mengerti mengapa hati cepat melemah jika ada dirimu. Dirimu yang lugu, cuek juga blagu.
Aku masih ingat saat itu, saat larikan senja jatuh di kelopak matamu yang duka, saat pertama kali aku menyadari kamu memang berbeda. Setiap mataku menemukan matamu, saat itulah aku menemukan deretan baris puisi dalam matamu itu. Aku menyadari aku telah jatuh cinta, bahkan sejak aku masih menganggapmu seorang pertapa. Kamu lelaki yang sederhana, tidak banyak tingkah juga tidak banyak bicara. Itu yang membuatmu terasa berbeda, aku selalu merasa ada sebuah gumpalan asap hitam dalam hatimu yang merah itu, juga tanda tanya besar yang masuk dalam tubuhmu. Kamu misteri.
Aku hanya jatuh cinta tidak lebih tidak kurang. Aku sudah mendengar tepukan-tepukan satu tangan dengan angin, bahkan saat pertama kali aku tersenyum mengingatmu, menyeret paksa ragamu kedalam mimpi malamku. Aku tahu kamu menyadari itu, menyadari degupan jantung saat tubuhmu bergegas melewati ragaku, menyadari mata ku yang mulai liar menatapmu. Kamu pasti tahu, hanya kamu pandai berpura-pura.
Tapi tere-liye benar bahwa cinta memang kesederhanaan, jika rumit maka tinggalkanlah jelas itu bukan cinta sejati. Azhar nurun ala juga benar, cinta tidak akan merugikan dirimu, jika kamu menjadi tidak produktif dan melupakan Tuhan maka tinggalkanlah itu bukan cinta. Kata-kata itu sudah kuhafal jauh lebih baik dalam kepala, menanamkanya dalam hati yang dataranya paling subur.
Tapi aku tidak mengerti, urusan ini semakin membuatku gila. Kita yang tidak pernah mengobrol barang 5 menit saja, tidak pernah mengirim pesan lewat sesuatu yang manusia menyebutnya handphone, tidak pernah saling menyapa, tapi hebatnya perasaan ini tidak pernah hilang walaupun sudah 5, 4, 7 atau bahkan keseratus kalinya aku menyugesti diri agar “melupakan” cinta itu. Aku tahu, bahwa kesederhanaan hanya tinggal siapa dan bagaimana dia mengaplikasikanya.
Aku berusaha sederhana mencintaimu. Tidak mengumbar-ngumbar rasa kesana kemari, kedunia tanpa batas atau sekedar memberikan sinyal ke otakmu. Tidak! Aku hanya mencintaimu lewat punggungmu yang bisu saat bertemu, lewat doa yang justru aku meminta melupakanmu, lewat kertas-pena-juga dedaunan yang selalu sabar menghiburku.
Tiba-tiba kamu mulai berubah, tidak ada lagi lengkungan senja dalam kelopak matamu, tidak ada lagi pertapa kehidupan, tidak ada lagi sikap yang dulu menawan. Entahlah, aku ingin bertanya apakah urusanmu sudah usai hingga secepat itu berubah atau kini ada matahari yang mengglayut dalam bola matamu. Aku tidak tahu, tapi aku masih mencintaimu. Ini gila! Diammu terkadang membuat sebuah pola energi yang meraup jiwa jiwa kelaparan, namun diammu juga terkadang menjadikan sebuah kaca bening dalam kedua mataku, yang pecah melebur membentuk anakan sungai yang bercabang-cabang melewati pipi-dagu-juga hidung.

Dalam langit yang bersih dan biru, aku sudah berjanji melupakan dan menutup hatiku. Karena itu aku mulai berproses melupakanmu. Aku tahu ini sulit juga rumit dan aku sudah kebal dengan apa itu sakit. Mendadak aku ingin sendiri, mengetuk pintu Tuhan dan lantas membuat bel-bel kecil agar dapat didengar. Karena itulah, aku mulai lengah di suatu perkumpulan, aku takut tiba-tiba ada dirimu, atau suaramu atau juga angin yang membawamu. Aku juga takut membuka jejaring sosial, takut menemukan wajahmu juga goresan tanganmu. Ini dapat mengganggu proses “melupakan” itu. Aku serius akan melupakanmu, karena Tuhanku lebih tau, kapan waktu yang tepat, apa cerita cinta yang lekat, juga proses ke pelaminan yang sehat. Tuhanku sangat mengetahuinya, karena itulah aku melupakamu.

 dan aku tahu, kau sudah dulu melupakanku sejak kau lupa siapa namaku.

                                                                                    Bandung, 23 sept 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar