Tidak
ada yang lebih menyenangkan selain merenung didalam perjalanan. Kau belum
pernah mencobanya? Cobalah, maka kau akan sadar dunia amatlah luas, tidak
sesempit hatimu, hati mereka, juga hatiku. Senja ini aku duduk dalam posisi
favoritku satu tahun terakhir; paling pojok, dekat jendela, membuka jendela
selebar mungkin lantas membiarkan angin yang berubah-rubah warna :kadang hitam,
putih bahkan tanpa warna, menerpa muka tanpa pamrih, meninggalkan bercak.
Peduli? Untuk apa, wajah cantik juga tidak menjamin adanya cinta.
Di jalan pulang selalu
ada kenangan
Di jalan pulang selalu
dalam pembelajaran.
Aku
jatuh cinta. Sungguh, aku mengatakanya. Jika ini bukan cinta, lalu apakah nama
perasaan aneh ini? Yang karenanya, aku menyukai menulis liris sok romantis,
membaca novel roman bahkan picisan, juga mendengar lagu gejolak perasaan yang
dulu aku menyebutnya klise. Aku tidak pernah mengerti, dan aku tidak ingin
mengerti mengapa hati cepat melemah jika ada dirimu. Dirimu yang lugu, cuek
juga blagu.
Aku
masih ingat saat itu, saat larikan senja jatuh di kelopak matamu yang duka,
saat pertama kali aku menyadari kamu memang berbeda. Setiap mataku menemukan
matamu, saat itulah aku menemukan deretan baris puisi dalam matamu itu. Aku
menyadari aku telah jatuh cinta, bahkan sejak aku masih menganggapmu seorang
pertapa. Kamu lelaki yang sederhana, tidak banyak tingkah juga tidak banyak
bicara. Itu yang membuatmu terasa berbeda, aku selalu merasa ada sebuah
gumpalan asap hitam dalam hatimu yang merah itu, juga tanda tanya besar yang
masuk dalam tubuhmu. Kamu misteri.
Aku
hanya jatuh cinta tidak lebih tidak kurang. Aku sudah mendengar tepukan-tepukan
satu tangan dengan angin, bahkan saat pertama kali aku tersenyum mengingatmu,
menyeret paksa ragamu kedalam mimpi malamku. Aku tahu kamu menyadari itu,
menyadari degupan jantung saat tubuhmu bergegas melewati ragaku, menyadari mata
ku yang mulai liar menatapmu. Kamu pasti tahu, hanya kamu pandai berpura-pura.
Tapi
tere-liye benar bahwa cinta memang kesederhanaan, jika rumit maka tinggalkanlah
jelas itu bukan cinta sejati. Azhar nurun ala juga benar, cinta tidak akan
merugikan dirimu, jika kamu menjadi tidak produktif dan melupakan Tuhan maka
tinggalkanlah itu bukan cinta. Kata-kata itu sudah kuhafal jauh lebih baik
dalam kepala, menanamkanya dalam hati yang dataranya paling subur.
Tapi
aku tidak mengerti, urusan ini semakin membuatku gila. Kita yang tidak pernah
mengobrol barang 5 menit saja, tidak pernah mengirim pesan lewat sesuatu yang
manusia menyebutnya handphone, tidak pernah saling menyapa, tapi hebatnya
perasaan ini tidak pernah hilang walaupun sudah 5, 4, 7 atau bahkan keseratus
kalinya aku menyugesti diri agar “melupakan” cinta itu. Aku tahu, bahwa kesederhanaan
hanya tinggal siapa dan bagaimana dia mengaplikasikanya.
Aku
berusaha sederhana mencintaimu. Tidak mengumbar-ngumbar rasa kesana kemari,
kedunia tanpa batas atau sekedar memberikan sinyal ke otakmu. Tidak! Aku hanya
mencintaimu lewat punggungmu yang bisu saat bertemu, lewat doa yang justru aku
meminta melupakanmu, lewat kertas-pena-juga dedaunan yang selalu sabar
menghiburku.
Tiba-tiba
kamu mulai berubah, tidak ada lagi lengkungan senja dalam kelopak matamu, tidak
ada lagi pertapa kehidupan, tidak ada lagi sikap yang dulu menawan. Entahlah,
aku ingin bertanya apakah urusanmu sudah usai hingga secepat itu berubah atau
kini ada matahari yang mengglayut dalam bola matamu. Aku tidak tahu, tapi aku
masih mencintaimu. Ini gila! Diammu terkadang membuat sebuah pola energi yang
meraup jiwa jiwa kelaparan, namun diammu juga terkadang menjadikan sebuah kaca
bening dalam kedua mataku, yang pecah melebur membentuk anakan sungai yang
bercabang-cabang melewati pipi-dagu-juga hidung.
Dalam
langit yang bersih dan biru, aku sudah berjanji melupakan dan menutup hatiku.
Karena itu aku mulai berproses melupakanmu. Aku tahu ini sulit juga rumit dan
aku sudah kebal dengan apa itu sakit. Mendadak aku ingin sendiri, mengetuk
pintu Tuhan dan lantas membuat bel-bel kecil agar dapat didengar. Karena
itulah, aku mulai lengah di suatu perkumpulan, aku takut tiba-tiba ada dirimu,
atau suaramu atau juga angin yang membawamu. Aku juga takut membuka jejaring
sosial, takut menemukan wajahmu juga goresan tanganmu. Ini dapat mengganggu
proses “melupakan” itu. Aku serius akan melupakanmu, karena Tuhanku lebih tau,
kapan waktu yang tepat, apa cerita cinta yang lekat, juga proses ke pelaminan
yang sehat. Tuhanku sangat mengetahuinya, karena itulah aku melupakamu.
dan aku tahu, kau sudah
dulu melupakanku sejak kau lupa siapa namaku.
Bandung,
23 sept 2013