Minggu, 24 November 2013

Yasudah biar.



Malam pekat.
Aku justru ingin menulis surat.

Malam ini aku ingin terlepas dari metafora. Terlepas pada bendahara kata. Terlepas dari otak atik kata, apalagi mengobrak-abrik diksi. Pokoknya malam ini, aku ingin menulis semau ku, sejelek, dan semerawut pun terserah. Karena jatahnya malam ini adalah pembebasan otak, pembebasan kata. Yeah!
Nah, malam ini aku Cuma pingin cerita, ga peduli mau ada yang baca apa engga. Jadi ceritanya tadi itu aku mau ngerjain kajian puisi yang entah kenapa selama dua minggu ini bikin aku bermuram durja *serius. Seharian men! Seharian aku ngeluangin waktu buat ngerjain, tapi hasilnya Cuma dapat pelototan mata aku aja. Hahaha. Entahlah men, kalau udah males tu ya males aja. Titik.

Tadinya nih, mau melarikan masalah ke jejaring sosial. Duh jangan tanya line, wa, kakao talk dan bla bla lainya yang udah lama ga pernah dapet jatah kuota. Aku masih setia ke facebook, yang katanya pemakai fb kumpulan orang alay semua. Ga peduli. Tapi sepi men, malah nambah galau, karena ga ada temen untuk ngechat. Entah kemana perginya orang-orang itu.

Dan dibagian ini langsung males cerita lagi, ini tulisan ancur banget. Serius! Jangan ingetin kalau anak sastra. Emang kenapa? Bosen tau kalau nulis kudu mikir lama dulu, milih-milih diksi yang pas, keburu lupa cerita iya!. Dan emang ini tulisan malu-malauin sih. Duh jadi pingin langsung ctrl+a terus delete -_________-. 

Intinya
1. tadi lihat film india, dan bagus banget cerita cintanya. Romantis! Liris! Dan ga mau nyebut puitis. Dapet pelajaran satu hal, tentang ajaibnya ketulusan. Ceritanya gimana? Duh please deh jangan bikin ini tulisan yang ancur ga karuan jadi panjang.
2. lihat doraemon, keren!. Mungkin doraemon sama spongebob itu seharusnya film buat orang dewasa yang lagi nyari apa itu dewasa kaya aku gini :D.
3. sekarang ngantuk dan ga mau ngelanjutin nulis lagi.
Paling-paling 5 menit kemudian ada yang bilang tulisan ini kelewat alay, dan masa SMA yang telat. Ya ude, biar. Hahaha. Yang jelas ini tulisan terbebas selama dua tahun kuliah heyahahaha -_____-. *tarik selimut, buang laptop.

2 Nopember 2013

Alay yang terlambat -__-


Senin, 21 Oktober 2013

Tiga detik



Angin mendesah pelan, menyisakan aroma hujan. aku melirik jendela, malam pekat dengan uap hujan tertimbun diantara sekat. Tanda harus segera pulang.
Malam itu biasa, pekat yang biasa, hujan yang biasa, kumpulan yang biasa, teman yang biasa juga luka yang biasa-biasa saja.

Malam pukul enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh. Aku sudah bilang ini malam biasa, lalu apa? Tunggu, ada dua manusia berwajah beda, selalu ada, bersama. Mereka mendekat, membuat aku dan kawan ku saling bersitatap, mencengkeram kuat, dan jantung kami berdegup cepat. Bukan, dua manusia itu bukan penjahat.

Mereka berlalu, tanpa berucap kata atau sekadar tatapan manja. Tuhan, ini gila! Kami justru bahagia, tersipu lantas mengambil langkah seribu.

Ah kamu, sudah berapa lama kita tidak bertemu. Sedetik, menit, jam, hari, minggu, bulan atau tahun. Maaf aku lupa menghitung. Aku sebenarnya peduli, tapi aku tidak ingin peduli.

Malam pukul enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh. Aku menyukaimu. Jangan tanya mengapa, cukup kamu berbahagia saja. Di sela hening, kamu mulai mengobrol dengan kawanmu. Aku suka. Kamu tertawa, renyah sekali membuat candu lantas menjelma rindu. Aku bahagia. Melihat punggungmu yang bisu lalu suara sepatu, itu cukup bagiku.
Kamu tahu, aku bahagia berada dibelakangmu, menebak-nebak lantas terbahak tanpa sebab.

Jangan bertanya sejauh apa aku mengenalmu. Bahkan, nama pun aku tak mau tahu. Aku mempunyai nama sendiri untuk pengingat jika hatiku lupa. Mengenal mu lebih jauh, adalah pantangan bagiku. Aku tidak mau. Bukankah menyenangkan? Menyukai seseorang, tanpa tahu nama, tahu siapa kamu dan apa-apa yang melekat dalam hidupmu. Sederhana, aku hanya ingin sederhana menyukaimu.

Malam pukul enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh. Tetiba langkah mu mulai melambat, aku tepat melihat ubun kepalamu yang menuruni anak tangga. Kamu seperti menyadari sesuatu, menyadari sepasang bola mata yang liar menatap gerak-gerikmu. 

Dan tetiba waktu dengan bijak berhenti, menyisakan tiga detik. Tiga detik yang indah. Satu detik, kamu mulai mengangkat kepala. Dua detik, mata kita bertemu tapi enggan bersapa. Tiga detik mataku malu, hatiku melonjak cepat.

Tiga detik yang mahal. 

Sayang, aku mengetahui satu hal darimu. Matamu coklat. Aku hanya menyukaimu. Tapi menurut para pujangga, ini cinta. Memangnya apa cinta? Saat ada luka dan bahagia? Ah rumit sekali.
Tapi kamu tidak perlu takut, aku tidak akan menyemai luka atau menyiram cinta. Aku hanya menyukaimu. Menyukai saat kita tidak sengaja bertemu, suara sepatu, tawa renyah, punggung yang bisu, suaramu juga tiga detik yang mahal. Selebihnya aku tidak mau tahu. Biarkan saja aku yang terus menebak-nebak.

Tapi, ini Malam pukul enam tiga puluh, bukan waktu untuk meluruh.


Bandung, 21 Oktober 2013
Malam pukul sepuluh.

Mengutip kata

kamu tahu kenapa manusia suka membaca, 
lalu mengutip kata-kata, 
lalu menangis, gembira, tertawa, ?
 

karena ada satu sudut, dimana banyak kata kelu diucap, 
banyak rasa tak dapat disebut, 
banyak rombongan diksi tak sempat tergores.

lantas mereka membaca apapun, mencari tulisan yang dapat menjadi wali.


Senin, 30 September 2013

Adalah cinta dan luka.




Menjauh untuk menjaga.
Adalah luka dan cinta menjadi kabur perbedaanya ketika seseorang terkubur oleh perasaanya. Ini bukan salah siapa-siapa mengapa seseorang paham hakikat cemburu, ini juga bukan dosa siapa-siapa ketika seseorang mengorbankan rasa sakit demi sebuah senyum yang merekah dengan dahi mengernyit.
Kau benar, aku lah aktornya : yang paling paham bermain mimik muka. Memang begitukan? Apalagi yang bisa dilakukan selain mengatup bibir dan memenjarakan kata-kata. Aku tidak akan mengatakanya meski lubang mulai menganga, semakin hari bertambah lebarnya. Memang itu yang aku mau, semakin lebar, semakin besar hingga akhirnya mati rasa.
Adalah jauh dan dekat menjadi sesuatu yang saling melekat ketika jarak mulai bicara. Kita dekat dalam pelukan sahabat, tapi sejujurnya jauh sebatas hati yang terus mengeluh. Lalu dia jauh hingga tak tersentuh, tapi dekat bagimu yang punya cinta berwujud pekat. Urusan ini memang sedikit membuat pertanyaan tanpa jawaban. Tapi bagi mereka yang memahami sebuah jarak, pemahamanya akan sederhana. Sesederhana jarak, yang bisa saja dikalahkan oleh waktu.
Aku hanya ingin kau paham, ini bukan sebuah kiasan yang parau. Bukan pula, tumpahan rasa yang remaja menyebutnya galau. Bukan! Tapi ini sebuah pemaknaan. Ini sebuah pengakuan. Bahwa Tuhan begitu ramah-Nya menjadi sutradara, hingga kita, manusia, adam, hawa, aku dan kamu bisa mengerti kesederhanaan hakikat cinta dan luka.  

Bandung, 25 september 2013



Melupakamu




Tidak ada yang lebih menyenangkan selain merenung didalam perjalanan. Kau belum pernah mencobanya? Cobalah, maka kau akan sadar dunia amatlah luas, tidak sesempit hatimu, hati mereka, juga hatiku. Senja ini aku duduk dalam posisi favoritku satu tahun terakhir; paling pojok, dekat jendela, membuka jendela selebar mungkin lantas membiarkan angin yang berubah-rubah warna :kadang hitam, putih bahkan tanpa warna, menerpa muka tanpa pamrih, meninggalkan bercak. Peduli? Untuk apa, wajah cantik juga tidak menjamin adanya cinta.
Di jalan pulang selalu ada kenangan
Di jalan pulang selalu dalam pembelajaran.
Aku jatuh cinta. Sungguh, aku mengatakanya. Jika ini bukan cinta, lalu apakah nama perasaan aneh ini? Yang karenanya, aku menyukai menulis liris sok romantis, membaca novel roman bahkan picisan, juga mendengar lagu gejolak perasaan yang dulu aku menyebutnya klise. Aku tidak pernah mengerti, dan aku tidak ingin mengerti mengapa hati cepat melemah jika ada dirimu. Dirimu yang lugu, cuek juga blagu.
Aku masih ingat saat itu, saat larikan senja jatuh di kelopak matamu yang duka, saat pertama kali aku menyadari kamu memang berbeda. Setiap mataku menemukan matamu, saat itulah aku menemukan deretan baris puisi dalam matamu itu. Aku menyadari aku telah jatuh cinta, bahkan sejak aku masih menganggapmu seorang pertapa. Kamu lelaki yang sederhana, tidak banyak tingkah juga tidak banyak bicara. Itu yang membuatmu terasa berbeda, aku selalu merasa ada sebuah gumpalan asap hitam dalam hatimu yang merah itu, juga tanda tanya besar yang masuk dalam tubuhmu. Kamu misteri.
Aku hanya jatuh cinta tidak lebih tidak kurang. Aku sudah mendengar tepukan-tepukan satu tangan dengan angin, bahkan saat pertama kali aku tersenyum mengingatmu, menyeret paksa ragamu kedalam mimpi malamku. Aku tahu kamu menyadari itu, menyadari degupan jantung saat tubuhmu bergegas melewati ragaku, menyadari mata ku yang mulai liar menatapmu. Kamu pasti tahu, hanya kamu pandai berpura-pura.
Tapi tere-liye benar bahwa cinta memang kesederhanaan, jika rumit maka tinggalkanlah jelas itu bukan cinta sejati. Azhar nurun ala juga benar, cinta tidak akan merugikan dirimu, jika kamu menjadi tidak produktif dan melupakan Tuhan maka tinggalkanlah itu bukan cinta. Kata-kata itu sudah kuhafal jauh lebih baik dalam kepala, menanamkanya dalam hati yang dataranya paling subur.
Tapi aku tidak mengerti, urusan ini semakin membuatku gila. Kita yang tidak pernah mengobrol barang 5 menit saja, tidak pernah mengirim pesan lewat sesuatu yang manusia menyebutnya handphone, tidak pernah saling menyapa, tapi hebatnya perasaan ini tidak pernah hilang walaupun sudah 5, 4, 7 atau bahkan keseratus kalinya aku menyugesti diri agar “melupakan” cinta itu. Aku tahu, bahwa kesederhanaan hanya tinggal siapa dan bagaimana dia mengaplikasikanya.
Aku berusaha sederhana mencintaimu. Tidak mengumbar-ngumbar rasa kesana kemari, kedunia tanpa batas atau sekedar memberikan sinyal ke otakmu. Tidak! Aku hanya mencintaimu lewat punggungmu yang bisu saat bertemu, lewat doa yang justru aku meminta melupakanmu, lewat kertas-pena-juga dedaunan yang selalu sabar menghiburku.
Tiba-tiba kamu mulai berubah, tidak ada lagi lengkungan senja dalam kelopak matamu, tidak ada lagi pertapa kehidupan, tidak ada lagi sikap yang dulu menawan. Entahlah, aku ingin bertanya apakah urusanmu sudah usai hingga secepat itu berubah atau kini ada matahari yang mengglayut dalam bola matamu. Aku tidak tahu, tapi aku masih mencintaimu. Ini gila! Diammu terkadang membuat sebuah pola energi yang meraup jiwa jiwa kelaparan, namun diammu juga terkadang menjadikan sebuah kaca bening dalam kedua mataku, yang pecah melebur membentuk anakan sungai yang bercabang-cabang melewati pipi-dagu-juga hidung.

Dalam langit yang bersih dan biru, aku sudah berjanji melupakan dan menutup hatiku. Karena itu aku mulai berproses melupakanmu. Aku tahu ini sulit juga rumit dan aku sudah kebal dengan apa itu sakit. Mendadak aku ingin sendiri, mengetuk pintu Tuhan dan lantas membuat bel-bel kecil agar dapat didengar. Karena itulah, aku mulai lengah di suatu perkumpulan, aku takut tiba-tiba ada dirimu, atau suaramu atau juga angin yang membawamu. Aku juga takut membuka jejaring sosial, takut menemukan wajahmu juga goresan tanganmu. Ini dapat mengganggu proses “melupakan” itu. Aku serius akan melupakanmu, karena Tuhanku lebih tau, kapan waktu yang tepat, apa cerita cinta yang lekat, juga proses ke pelaminan yang sehat. Tuhanku sangat mengetahuinya, karena itulah aku melupakamu.

 dan aku tahu, kau sudah dulu melupakanku sejak kau lupa siapa namaku.

                                                                                    Bandung, 23 sept 2013